Fenomena Tingginya Angka Perceraian di Batam, Berdampak Pada Rapuhnya Kehidupan Bangsa
Tingginya kasus perceraian di Batam, perlu mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah dan seluruh Instansi/Lembaga maupun Ormas Agama. Perceraian yang terus meningkat dalam 10 tahun terakhir, dan tak bisa dipandang sebelah mata. Terus melonjaknya kasus perceraian, bisa berdampak serius bagi nasib bangsa pada masa depan.
Keluarga adalah merupakan pilar utama penyangga kekuatan sebuah bangsa. Bila setiap tahun jumlah keluarga yang bercerai terus melonjak, pilar-pilar yang menopang kekuatan bangsa ini pun bisa semakin rapuh. Betapa tidak, kian maraknya kasus perceraian dapat membuat kualitas kehidupan anak-anak bangsa kian memburuk.
Anak-anak adalah korban utama dari sebuah perceraian. Terjadinya perceraian orang tua, sama artinya perceraian bagi anak dengan salah satu orang tua bisa juga pada kedua orang tua.
Berpisahnya ibu dan ayah akibat perceraian akan mengganggu pola asuh anak-anak. Secara jangka panjang, meningkatnya angka perceraian dapat menurunkan kualitas manusia Indonesia. Sebab, generasi muda yang semestinya dapat tumbuh maksimal, berpotensi menjadi generasi yang tidak sehat secara psikis ataupun fisik.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Nasional juga mencatat, kasus terkait anak korban perceraian menduduki peringkat kedua dari total pengaduan kasus-kasus perlindungan anak yang masuk ke komisi tersebut.
KPAI bahkan menyebut anak-anak korban perceraian rawan mengalami lima bentuk kekerasan, yakni perebutan hak asuh, pelanggaran akses bertemu orang tua, penelantaran hak diberi nafkah, anak hilang, serta menjadi korban penculikan keluarga.
Banyak kasus perceraian dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
1. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman terhadap hukum/syariat agama.
2. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman terhadap hukum positif.
3. Rendahnya pemahaman akan hak dan kewajiban sebagai suami/istri.
4. Pengaruh Sosial Media.
5. Pengaruh lingkungan.
6. Pergaulan bebas.
Butuh Perhatian Serius Pemerintah
Langkah konkret harus segera dilakukan Pemerintah melalui kementerian/lembaga, harus segera bergerak untuk mencari solusi agar kasus perceraian ini tak terus melonjak setiap tahunnya.
Walaupun dirasakan belum cukup, namun kursus pranikah yang disyaratkan bagi pasangan yang akan mengarungi biduk rumah tangga harus benar-benar dijalankan.
Setiap Kantor Urusan Agama (KUA), wajib menggelar kursus pranikah ini agar calon pasangan suami-istri mendapatkan wawasan dan pengetahuan mengenai kehidupan berumah tangga.
Peran ormas Islam untuk menekan jumlah kasus perceraian pasti akan sangat besar. Karena itu, pemerintah bisa menggandeng ormas-ormas Islam untuk mengokohkan keluarga-keluarga Sakinah, Warahdah dan Warahmah di Tanah Air.
Upaya Pencegahan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan perkawinan, dua orang yang berlainan jenis diikat secara lahir, batin, dan hukum dalam suatu ikatan.
Akad Nikah yang merupakan perjanjian yang berlangsung antara dua belah pihak yang melangsungkan pernikahan, dalam bentuk ijab Kabul. Pengertian Perjanjian didalam KUHPerdata adalah “suatu perbuatan dengan mana salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Karena perkawinan pada dasarnya merupakan suatu perikatan suatu perjanjian maka memiliki akibat hukum bagi pelanggarnya.
Upaya pencegahan mutlak harus segera diambil melalui koordinasi lintas instansi/Lembaga, serta Lembaga penegakan hukum baik Kepolisian maupun Kehakiman.
Sebagaimana usul fiqih yang terdapat dalam kitab Al-Asbah Wan Nozhoir, Hal.26: “Menolak keburukan harus diutamakan daripada mengharapkan kebaikan”.
Penolakan gugatan perceraian tanpa alasan syar’i dan tidak bersesuaian dengan undang-undang perkawinan, hendaknya sejak dini wajib dicegah. Kebanyakan gugatan perceraian juga diawali dari emosi berlebihan, keangkuhan, kesombongan, merasa mampu, ingin hidup bebas dan persoalan sepele serta remeh temeh lainnya. Yang kemudian direka menjadi rangkaian cerita besar untuk dijadikan sebuah gugatan.
Melakukan pencegahan sebelum terjadinya tindak pidana perselingkuhan, perbuatan zina, penelantaran dalam rumah tangga. sebagai pola penanggulangan kejahatan pada dasarnya memelihara keamanan dan ketertiban umum sekaligus pengontrolan kepada kehidupan bermasyarakat.
Sebagaimana Imam al-Munawi mengatakan, “Sesungguhnya merupakan peringatan keras tentang buruknya perceraian. Karena perceraian merupakan cita-cita terbesar makhluk terlaknat yaitu Iblis. Dengan perceraian akan ada dampak buruk yang sangat banyak, seperti terputusnya keturunan (hubungan orang tua dan anak), peluang besar bagi manusia untuk terjerumus ke dalam zina, yang merupakan dosa yang sangat besar kerusakannya dan menjadi kejadian terbanyak.” (Faidhul Qadir, 2:408).
Undang-Undang Perkawinan ( UU Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019) mengenal beberapa asas. Salah satu asas yang terkandung dalam UU tersebut adalah “asas mepersulit terjadinya perceraian”. Dengan kata lain, UU Perkawinan memang mengamanatkan kepada penegak hukum yang mempunyai kewenangan, agar berusaha secara sungguh-sungguh, mencegah terjadinya perceraian.
Dengan demikian dapat diperluas dimana tidak hanya institusi penegak hukum kehakiman atau pengadilan agama, namun juga aparat penegak hukum lainnya seperti Kepolisian dapat berperan serta menjalankan amanat undang-undang perkawinan dimaksud sesuai dengan kewenangannya.
Penegakan Hukum
Setiap orang harus faham akibat hukum yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan dan akibat perceraian. Penegakan hukum merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya perceraian dan memberi efek jera.
Selain penyuluhan juga anjuran kepada korban agar melakukan upaya hukum bagi pelaku. Saat ini perilaku menyimpang dari norma agama dan norma berkehidupan bermasyarakat, sudah dianggap biasa dan lazim bagi sebagian masyarakat.
Misalnya: melakukan hubungan suami istri tanpa ikatan perkawinan, berselingkuh, berbuat zina dengan suami/istri orang lain, suami/istri meninggalkan rumah tanpa alasan yang sah, kebiasaan istri keluar rumah tanpa izin suami dan lain-lain.
Sebagai contoh: Penelantaran dalam rumah tangga diatur dalam UU No 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT, penelantaran yang dilakukan oleh suami atau isteri yaitu meninggalkan anak, isteri atau suami yang ia berkewajiban memberikan kehidupan perawatan dan pemeliharaan kepada orang tersebut, tindak pidana penelantaran banyak terjadi dan sedikit sekali mendapat penegakan hukum bagi pelaku tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga tersebut.
Sanksi Pidana / Ancaman Hukuman
1. Ancaman Penjara 9 bulan bagi Perbuatan Zina/Perselingkuhan
Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a KUHP. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel/Zina), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya. Hal ini berlaku untuk suami/istri maupun perempuan/laki-laki yang menjadi selingkuhannya.
Selain dilarang oleh agama, perselingkuhan juga dapat menjadi pemicu retaknya rumah tangga. Jika perselingkuhan telah mengarah ke perbuatan zina, maka suami/istri dari pasangan yang melakukan zina dapat melaporkan istri/suaminya serta selingkuhannya ke polisi atas dasar perbuatan perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
2. Ancaman Penjara 3 tahun bagi pelaku penelantaran anak
Menurut UU No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak telah ditentukan pada pasal 77 ayat 2 yang diancam dengan ancaman 5 (lima) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), sebagaimana bunyi pasal tersebut: “Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental maupun sosial, dipidana denga pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.
3. Ancaman Penjara 3 Tahun bagi pelaku Penelantaran dalam rumah tangga
Diatur dalam UU No 23 tahun 2004 tentang PKDRT. pasal 9 ayat (1); Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (2); tiap orang “Yang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (2), Pasal 49 menyebutkan dipidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Penyuluhan kepada masyarakat hak dan kewajiban suami isteri sebagaimana islam telah mengajarkan, dan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang hukum yang berlaku.
Kasus Perceraian
Dikutip dari sumber salah satu media dimana Kasus perceraian di Kota Batam masih terbilang tinggi. Sepanjang tahun 2021 (Januari-Oktober) ini sudah ada 1.716 kasus perceraian masuk ke Pengadilan Agama (PA) Batam.
Berdasarkan data, pada 2017 angka perceraian di Batam mencapai 2.243 kasus. Angka ini naik jadi 2.456 kasus perceraian di tahun 2018 lalu. Sementara di tahun 2019 angka perceraian mencapai 2.213 kasus, tahun 2020 kasusnya capai 2.126 perkara.
Jika diuraikan, gugatan dari pihak istri atau cerai gugat masih mendominasi kasus yang masuk awal tahun 2021 ini. Sementara cerai talak atau dari pihak suami tetap ada, namun jumlahnya setengah dari kasus gugat. Selain itu faktor lainnya yang memicu perceraian juga ada dari faktor poligami, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan faktor perselingkuhan atau zina.
Bila fenomena ini dibiarkan berlarut-larut, bukan tak mungkin Indonesia akan menjadi bangsa yang rapuh karena pilar-pilar utama penyangganya, yakni keluarga, hancur akibat perceraian. (*)
Penulis : Osman Hasyim
Sumber Batam Pos